Rabu, 26 Januari 2011

Merangkum Kehidupan Desa Kuno

BULELENG memiliki banyak desa tua yang berderet di dataran tinggi Kecamatan Banjar dan Tejakula. Di Banjar terdapat Desa Sidatapa, Pedawa, Cempaga, Tigawasa dan Banyusri. Di Tejakula masih berdiri dengan unik Desa Sembiran, Julah dan desa lain yang masih berkaitan erat dengan desa-desa tua di Kabupaten Bangli.
Sebagai desa yang bernilai sejarah, tentu saja desa tua ini punya banyak tradisi budaya yang khas, yang patut dipertahankan, bukan semata-mata untuk kepentingan pariwisata, tetapi lebih jauh sebagai aset untuk menelusuri sejarah masa lalu. Masa lalu yang jadi cermin di masa depan. Begitulah yang dilakukan warga Desa Sidatapa --salah satu desa tua -- di Kecamatan Banjar.
Memasuki Desa Sidatapa di Kecamatan Banjar, Buleleng, rasanya seperti menyelinap ke dalam sebuah lukisan indah tentang kehidupan Bali masa lalu. Suasana hutan yang sejuk dan jalan setapak yang dikitari gugusan semak dan pepohonan besar senantiasa menawarkan suasana alam yang meski terkesan liar, namun memberi rasa teduh dan damai. Apalagi ketika masuk ke pemukiman, suasana kehidupan yang polos dan bersahaja tergambar dari gerak-gerik masyarakatnya yang sedikit dingin namun tingkahnya menunjukkan bahwa warga Sidatapa adalah sekelompok warga yang ramah, gampang bersahabat dan mudah diajak bicara.
Desa Sidatapa merupakan salah satu dari deretan desa kuno yang hingga kini masih tersisa di belahan Bali Utara. Orang menyebutnya Desa Bali Mula atau Bali Aga, sebuah desa yang sudah memiliki otonomi sosial-budaya sebelum Kerajaan Majapahit menancapkan kekuasaannya di Bali. Memang, tak begitu banyak bukti yang bisa menjelaskan secara rinci sejarah desa di ketinggian 500 meter dari atas permukaan laut itu.
Selain cerita sejarah yang dituturkan dari generasi ke generasi, satu bukti penting yang menjelaskan keberadaan desa kuno ini adalah rumah adat yang memang terkesan tua alias kuno. Namun, jika ingin melihat rumah kuno itu secara leluasa, tak cukup dengan hanya menelusuri jalan kecil pedesaan yang sejuk itu. Selain langka, rumah tua itu tidak dibangun menghadap ke jalan sebagaimana rumah modern saat ini. Rumah khas itu dibangun membelakangi jalan sehingga keberadaan cukup tersembunyi.
Banyak cerita unik bisa digambarkan dari keberadaan rumah tua itu yang tentu saja berhubungan erat dengan perjalanan sejarah Bali Kuno secara keseluruhan. Namanya juga rumah kuno, bahan bangunannya tentu sangat bergantung pada alam. Lantai dan temboknya dari tanah, atapnya daun kelapa, tiang, jendela dan perangkat lainnya dibuat dari bambu batangan atau anyaman bambu.
Bale Gajah Tumpang Salu
Yang unik, seluruh bagian ruang rumah tua ini ternyata merangkum semua kehidupan sosial, ekonomi, spiritual, budaya dan keamanan, dari masing-masing keluarga di desa tersebut. Artinya, seluruh kegiatan keluarga dilakukan dalam satu rumah yang memang cukup luas. Jika di Padang, Sumatera Barat, rumah adatnya bernama Rumah Gadang, rumah di Sidatapa juga punya sebutan bagus. I Wayan Ariawan, seorang tokoh muda Sidatapa yang memiliki minat besar untuk melestarikan rumah peninggalan leluhurnya itu, mengatakan bangunan kuno di Sidatapa itu bernama Bale Gajah Tumpang Salu. Bale berarti rumah, gajah menunjukkan simbol dari bangunan yang bertiang empat dalam setiap bagiannya, tumpang berarti tingkat dan salu bermakna tiga. Lengkapnya bisa disebut sebagai rumah besar yang terdiri atas tiga bagian.
Tiga bagian rumah ini memiliki fungsi sosial, ekonomi, spiritual dan budaya yang menjadi satu-kesatuan yang utuh dan saling berhubungan. Bagian utama (utamaning mandala), bagian tengah (madyaning mandala) dan sisi luar (nistaning mandala). Bagian utama dijadikan tempat persembahyangan, tidur, makan, serta tempat menyimpan alat-alat upacara, busana adat, pusaka, emas dan kekayaan lainnya. Bagian tengah digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti memasak dan melakukan upacara adat dan upacara keagamaan. Nista mandala adalah daerah luar, lokasi khusus sebagai tempat menerima tamu. Jadi, sejumlah warga mengatakan, rumah tua itu bisa dianggap sebagai pura atau merajan sekaligus sebagai tempat tinggal.
Membelakangi Jalan
Kenapa rumah ini dibangun membelakangi jalan? Kisahnya bisa dimulai dari penyerangan pasukan Majapahit ke Bali beratus-ratus tahun lalu. Sejumlah tokoh warga menceritakan, setelah terjadi penyerangan dari pasukan Majapahit, warga Bali Aga itu mengalami semacam trauma. Ada semacam ketakutan sehingga berupaya menyembunyikan diri dan segala aktivitasnya dengan membuat rumah menghadap ke hilir atau ke belakang.
Selain di Sidatapa, rumah tua juga terdapat di Desa Pedawa yang juga termasuk deretan desa tua di Buleleng. Sayangnya, hingga kini, hanya beberapa saja bangunan bersejarah itu masih berdiri di Sidatapa. Rumah yang berumur ratusan tahun memang harus mengalami perbaikan baru. Kalau tidak, memang harus direlakan untuk rubuh.
Ariawan, tokoh muda yang kini sibuk mengurus yayasan untuk menaungi upaya pelestarian di Sidatapa itu, prihatin dengan bangunan tua yang mulai menipis jumlahnya. Untuk itu, belum lama ini, ia bersama tokoh adat dan masyarakat di daerahnya membuat semacam keputusan sebagai tanggung jawab moral untuk melestarikan rumah adat di Sidatapa. Menurutnya, pelestarian itu bukan semata-mata untuk memancing turis untuk datang ke Sidatapa, tetapi lebih banyak karena alasan sejarah desa yang harus dipertahankan sehingga tidak punah.
Menurut Ariawan, terdapat beberapa keputusan yang diambil masyarakat dalam upaya pelestarian itu. Pertama, masyarakat Sidatapa harus mempertahankan rumah tua yang dimilikinya. Kalaupun harus membangun rumah baru sebaiknya membangun rumah adat yang tradisional. Kedua, jika ada warga baru yang masuk Desa Pakraman Sidatapa maka warga itu diharuskan membangun rumah adat. Meski bahan-bahannya sudah menggunakan bahan modern, namun struktur bangunannya haruslah menggunakan struktur bangunan rumah adat. Ketiga, diimbau kepada masyarakat ingin mendirikan rumah dengan arsitektur modern agar membangunnya di luar wilayah desa.
Ariana mengakui, belakangan rumah tua di Sidatapa mengalami sedikit perubahan. Misalnya dulu atapnya dari alang-alang atau daun kelapa atau bilah-bilah bambu, kini atapnya diganti dengan seng. Lantai dan temboknya yang dulu terbuat dari tanah liat kini juga mulai diganti dengan semen. Tetapi, menurutnya, struktur, fungsi dan arsitekturnya tidak banyak berubah.
Perhatian pemerintah terhadap bangunan tua di Sidatapa dan daerah Desa Bali Aga lainnya, seperti di Pedawa, Tigawasa, Banyusri, Cempaga, ternyata cukup lumayan. Ariana mengatakan, untuk pelestarian rumah adat di Sidatapa, pemerintah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tercatat sudah dua kali memberi bantuan. Kini tinggal mengetuk kesadaran masyarakat untuk melakukan pelestarian terhadap peninggalan nenek moyangnya yang bernilai sejarah-budaya tinggi ini, kata Ariawan.
* Adnyana Ole
Diambil dari : (http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/7/19/bd1.htm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar