Kamis, 27 Januari 2011

Desa Tua di Bali Utara Potensi Layak Jual, Penggarapan tak Maksimal

Bicara soal salah satu daerah di Bali yang memiliki potensi kekayaan pariwisata lengkap, Buleleng pasti masuk kriteria. Kabupaten di utara Bali ini memiliki areal pertanian dan laut yang cukup luas. Tak hanya itu, Buleleng juga punya sederet desa tua, baik di bagian timur maupun barat. Adalah sebuah kesalahan bila potensi itu kemudian tak dikembangkan secara baik dan benarsehingga lambat laun pariwisata Buleleng kalah gaung ketimbang Bali Selatan.
--------------------------

Bila dirunut dari bagian barat, di pegunungan yang berhawa sejuk, Buleleng memiliki kawasan desa tua yang dikenal sebagai SCTP: Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa. Di bagian timur, tepatnya di Kecamatan Tejakula ada Julah, Pacung, Sembiran, Les, Penuktukan dan Sambirenteng. Selama ini pelaku pariwisata di Bali Utara terkesan kurang maksimal mengelola kekayaan budaya dan warisan kolonial yang ditinggalkan kaum imperialis. Padahal lepas dari keuntungan yang diperoleh dari manisnya pariwisata, keindahan alam dan budaya yang dianugerahkan Tuhan kepada Bali, kepada Buleleng, perlu dibagi kepada wisatawan.
Dinas Kebudayaan Pariwisata (Disbudpar) tidak menutup mata terhadap potensi budaya dan spiritual yang ada di Buleleng. Pihak Disbudpar telah melakukan upaya pengembangan desa-desa tua yang ada di Bali Utara itu. Kadisbudpar Buleleng I.B. Puja Erawan mengatakan, Desa Sembiran merupakan salah satu desa tua yang telah dikembangkan, menyusul beberapa desa lainnya seperti Sidatapa. Sembiran memiliki rumah yang berusia ratusan tahun. Untuk melestarikannya, pihaknya bersama Pemkab dan desa adat membangun dan mempertahankan rumah tua ala Sembiran itu.
Demikian pula rumah tua di Sidatapa. Desa di pegunungan itu memiliki bentuk rumah yang unik dengan pintu yang terletak di belakang rumah, bukan di depan sebagaimana rumah pada umumnya. Sejauh ini upaya pelestarian rumah tua itu cukup membuahkan hasil. "Memang wisatawan yang berkunjung ke Buleleng mayoritas berasal dari kawasan Eropa. Wisatawan ini mempunyai karakteristik berbeda dengan wisatawan dari Amerika, misalnya. Wisatawan Eropa cenderung menyukai objek yang berkaitan dengan budaya dan hal spiritual," jelasnya.
Bukan hanya desa tua, Disbudpar juga melakukan upaya pelestarian terhadap pura yang telah berusia ratusan tahun. Di Buleleng terdapat beberapa pura tua yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Sebut saja Pura Meduwe Karang di Kecamatan Kubutambahan dan Pura Beji, Sangsit. Kedua pura ini juga telah dikembangkan sebagai salah satu daya tarik pariwisata. Pura bukanlah objek wisata yang bisa dieksploitasi, namun menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Sebelumnya wisatawan yang berkunjung ke Buleleng telah disuguhi keindahan beberapa pura lainnya -- yang lebih dulu dikembangkan -- seperti Pura Pulaki dan Melanting, Gerokgak.
Soal pengembangan pariwisata budaya, sejarah, desa tua, pura dan objek spiritual lainnya, Kepala Dinas Pariwisata Bali (Disparda) Gede Nurjaya dalam sebuah acara diskusi pengembangan pariwisata Buleleng beberapa waktu lalu mengatakan, pariwisata sejarah merupakan trend yang sedang digandrungi wisatawan, terutama wisatawan Belanda. Dia memperhatikan, pascabom kunjungan wisatawan Belanda ke Bali cenderung naik. Belanda merupakan pasar loyal bagi pariwisata. Itu bisa jadi peluang baik bagi Bali, khususnya Buleleng. "Wisatawan Belanda suka Bali. Mereka senang melihat peninggalan sejarah nenek moyangnya di Bali seperti bangunan yang beraksitektur Belanda dan sebagainya," ujarnya.
Lelaki asal Buleleng itu menyebutkan, wisatawan sekarang cenderung menyukai hal-hal yang bersifat budaya dan sejarah. Yang perlu menjadi perhatian, pelaku pariwisata harus melakukan koordinasi dengan pemerintah untuk mengemas potensi pariwisata sejarah yang dimiliki sehingga memiliki daya tarik dan daya jual bagi wisatawan. Misalnya dengan membuat dokumentasi foto-foto sejarah tempo dulu dan sebagainya. "Tetapi untuk mengemasnya menjadi menarik, perlu dilakukan upaya secara kontinu, mempersiapkan infrastuktur dan melakukan promosi yang gencar," ucapnya.
Siapkan Mental
Untuk mengembangkan pariwisata budaya terutama terkait dengan desa tua yang dimiliki Buleleng, banyak aspek yang perlu diperhatikan. Salah satunya kesiapan mental dan sosial masyarakat di desa tua itu. Jangan sampai terjadi ketimpangan yang terlalu jauh. "Masyarakat desa setempat memang harus dibina dan dipersiapkan agar mereka tidak kaget ketika ruang hidup mereka selama ini tiba-tiba ramai didatangi wisatawan," ujar Puja Erawan.
Menurut lelaki ramah ini, hal terpenting yang masih dimiliki masyarakat desa adalah keramahan dan kebersahajaannya. Hal itu yang harus dipelihara. Pengembangan desa tua sebagai objek pariwisata harus mengikuti satu pola tersendiri. Dia mengambil contoh Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli. Desa itu dikembangkan dengan mengikuti pola tersendiri. Rumah dan angkul-angkul ditata apik, seragam. Lain halnya dengan pola pengembangan desa tua di Buleleng. Dia kurang sependapat bila penataan desa tua yang ada di Bali Utara itu diseragamkan, menjadi artifisial. "Alami saja. Tata sebagaimana adanya tanpa banyak melakukan perubahan. Agar, ketika wisatawan berkunjung, mereka  bisa membaur dengan masyarakat dan melihat keadaan sebenarnya," paparnya.
Ketua Majelis Madya Desa Pakraman Buleleng Made Rimbawa, B.A. mengutarkan hal yang tak jauh berbeda. Dia sependapat bila Pemkab Buleleng lebih gencar mengembangkan desa tua yang ada. Tetapi, menurutnya, pengelolaan pariwisata itu jangan sampai mengabaikan nilai adat dan budaya Bali, seperti konsep Tri Hita Karana dan Tat Twam Asi. Konsep itu harus diterapkan dalam menata objek yang ada. Misalnya saat membangun rumah tua khas Sembiran. Desain rumah itu harus disesuaikan dengan konsep budaya Bali.
Dia menilai, ada dikotomi warga desa tua yang perlu dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan pariwisata. Ada sebagian warga desa yang tetap teguh bertahan di tengah terjangan nilai-nilai baru. Sementara di sisi lain, ada juga warga yang ingin mengubah tatanan dengan berbagai alasan. Mengikuti modernisasi, itu alasan yang kerap dilontarkan. Hal ini, menurutnya, perlu dipikirkan semua pihak. Bagaimana menemukan titik tengah yang menjembatani kedua prinsip itu. "Kemajuan seperti apa yang dituju? Bila kemajuan diperoleh dengan cara meninggalkan adat dan budaya, saya kira salah. Saya tidak sependapat," tegasnya.
Tak mudah memang, mengembangan potensi kepariwisataan terutama di bidang budaya. Semua kepentingan dari berbagai pihak harus ditampung. Jangan sampai gula-gula pariwisata dinikmati segelintir orang "besar," sementara "penyakit" dan "sampahnya" diterima masyarakat desa. Menanggapi kekhawatiran itu, Puja Erawan menegaskan pihaknya terus berupaya agar kemajuan pariwisata Buleleng tetap memberi kontribusi langsung bagi masyarakat. (ari)

by : http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2006/1/19/par1.htm

Ritual unik desa Sidetapa untuk menangkal kekuatan jahat

        Laki-laki berdiri di depan api di tengah-tengah halaman Pura Agung candi di desa Sidetapa. Melalui ritual Agung Briyang, mereka membersihkan senjata mereka dalam sebuah ritual untuk mengusir roh jahat apapun. Kartarahardja JP / Alit  
     Malam itu dingin dan berkabut di desa tua Sidetapa, 40 kilometer barat laut Singaraja, ibukota Kabupaten Buleleng di Bali Utara. Ratusan warga  berantusias mengambil bagian dalam upacara langka yang disebut Karya Odalan ulang Ngerebeg candi, juga disebut sebagai ritual Agung Briyang, dilaksanakan setiap tiga tahun. Mengenakan kostum tradisional yang terbaik, para wanita desa membawa persembahan besar dan berwarna-warni di kepala mereka. Ayah dan anak-anak membantu membawa perlengkapan upacara lainnya berjalan dalam prosesi yang panjang. Ritual  Briyang Agung , yang merayakan kunjungan para dewa untuk peringatan berdirinya candi utama desa mereka, biasanya dilaksanakan pada Purnamaning Kedasa, Bulan Penuh dalam bulan kesepuluh dari kalender Hindu Bali. "Inti dari ritual tersebut adalah untuk berdoa kepada Sang Pencipta dan menyambut para dewa, sementara pada saat yang sama melawan roh-roh jahat," jelas Nyoman Parna, seorang pemimpin Sidetapa.  
     Sebelum Briyang Agung, semua anggota desa melakukan serangkaian mini-ritual termasuk pemurnian Melasti prosesi ke sungai terdekat Tukad Sidetapa. Prosesi ini melibatkan  100 anggota masyarakat, dengan peserta menari dan beberapa masuk ke trans. Orang Bali percaya penari trans adalah media yang dapat mengirimkan kata tuhan selama setiap proses ritual. Pergi ke trans mungkin juga menjadi bukti kehadiran dewa '. Ritual berikutnya dilakukan adalah Sesayutan dan Wayon untuk menyambut dewa. Sehari setelah prosesi itu, semua anggota laki-laki di desa mengambil bagian dalam berburu rusa atau meboros Kidang. Sidetapa desa dulunya dikelilingi oleh hutan subur, rumah untuk rusa liar dan babi hutan. Sebagai hasil dari pertumbuhan penduduk yang cepat, hutan menjadi daerah pemukiman. "Saat ini, sangat sulit untuk menemukan rusa di hutan," kata Wayan Artha. Rusa dan babi digunakan sebagai persembahan utama. "Percaya atau tidak, kita selalu menemukan rusa di suatu tempat ketika saatnya tiba untuk melakukan ritualn"kata Artha. Puncak peringatan disebut Briyang Agung. Keluarga membawa senjata tajam mereka, keris (belati), pedang, tombak, tombak, dan lain-lain ke dalam Candi Pura Agung. Sejumlah orang menyalakan api di tengah halaman candi. Penduduk desa kemudian membawa senjata mereka di dalam pura, dengan suara musik gamelan. Banyak perempuan juga dilakukan tarian ritual untuk menemani senjata suci. Ritual pembersihan senjata dimaksudkan untuk menangkal roh jahat apapun.  
     Untuk penduduk Sidetapa, ritual ini juga sebagai menghormati leluhur mereka yang dulu kebanyakan sebagai prajurit. Berdasarkan cerita rakyat, desa Sidetapa merupakan rumah bagi prajurit kerajaan dari Kerajaan Buleleng dulu. "Senjata-senjata suci diyakini memiliki kekuatan magis. nenek moyang mereka menggunakan senjata untuk melawan musuh-musuh Kerajaan, termasuk pasukan kolonial Belanda di awal abad 19, "jelas sejarawan I Gusti Putu Teken.  
    Parna menambahkan bahwa pada tahun 1999, desa tidak mengadakan ritual. "Desa kami kemudian 'dikutuk' oleh banyak bencana," tambahnya. Upacara Briyang adalah sarana untuk memperbaharui hubungan mereka dengan para dewa dan untuk memperkuat ikatan komunal dengan satu sama lain selama persiapan ritual rumit.


by : (http://nurmadwidarmayanti.blogspot.com/2010/04/ritual-to-ward-off-evil-lives-on.html)

Rabu, 26 Januari 2011

info : Desa Tradisional di Buleleng tak Terurus

 Singaraja (Bisnis Bali) – Kendati di Buleleng terdapat desa tradisional, namun potensi itu tidak dikelola maksimal. Ini dibuktikan dengan minimnya sentuhan pengelolaan dari pemerintah daerah. Tak heran jika kondisi ini membawa kesan jika desa tradisional tak terurus.
Padahal, jika dikelola dengan baik, desa tradisional mampu mendongkrak pengembangan pariwisata di Buleleng. Apalagi, wisatawan asing belakangan ini kian banyak mencari objek wisata seperti desa tradisional.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Buleleng, Putu Tastra Wijaya, Minggu (11/7) lalu, tidak menampik jika pengelolaan objek wisata desa tradisional di Buleleng belum maksimal.
Lebih jauh Tastra mengatakan, sejak dulu Buleleng memang dikenal memiliki objek wisata desa tradisional. Objek itu berada di Kecamatan Banjar meliputi Desa Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, dan Desa Pedawa atau sering disebut dengan SCTP.

Selain itu desa tradisional juga terletak di Kecamatan Tejakula meliputi Desa Sembiran dan Desa Julah. Desa tersebut ibaratnya kini tinggal nama saja, sementara kenyataannya sudah banyak bangunan rumah milik warga dirombak untuk diubah menjadi rumah modern.

Situasi ini tidak bisa dibendung oleh pemerintah karena masyarakat sebagai pemilik rumah, sehingga kewenangan untuk merombak itu tidak bisa diintervensi. “Kita hanya bisa mengimbau agar rumah itu dipertahankan seperti aslinya, namun itu sulit karena warga sendiri yang menghendaki untuk dirombak menjadi rumah modern,” katanya.
Bukan itu saja, papan nama yang menunjukkan objek wisata desa tradisional dibiarkan rusak bertahun-tahun. Ini terjadi di pintu masuk menuju Desa Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, dan Desa Pedawa Kecamatan Banjar. Papan nama dari kayu itu kini catnya usang dan bahkan nyaris roboh karena kayu penyangganya sudah lapuk. Bahkan, papan itu sangat sulit dilihat karena terhalang oleh bangunan gapura di Jalan Raya Singaraja - Seririt tepatnya di Desa Temukus, Kecamatan Banjar.
Menurut Tastra, upaya nyata yang sudah dilakukan untuk menata sekaligus melestarikan desa tradisional di dua kecamatan itu pemerintah berupaya membangun bangunan rumah tua seperti aslinya. Sayangnya baru satu unit rumah tua berlokasi di Desa Sembiran yang bisa dibangun.

Rumah ini kini menjadi aset pemerintah dan dilengkapi dengan penjaganya dan sewaktu-waktu dijadikan lokasi untuk menjamu kunjungan wisatawan asing. “Karena anggaran yang sangat terbatas, kita baru bisa bangun satu rumah saja. Kita ingin lebih banyak lagi bisa dibangun atau membeli rumah tua yang masih tersisa, tapi itu belum bisa dilakukan karena anggaran minim,” katanya.
Bagimana dengan situasi kunjungan wisatawan asing ke objek wisata desa tradisional? Tastra mengatakan, kunjungan wisatawan asing memang ada namun jumlahnya kecil. Bahkan, dia mengakui tidak memiliki data kunjungan wisatawan asing yang valid. Ini terjadi karena pihaknya kesulitan tenaga yang memandu wisatawan asing saat berkunjung ke desa tradisional, sehingga otomatis kunjungan wisatawan asing tidak terekam dengan baik.

“Saya kira ini kendala kami di lapangan dan dengan pengelolaan yang kita lakukan memang masih jauh dari harapan. Tapi kita tetap berupaya untuk mengelola objek desa tradisional agar lebih baik dari saat ini. *mud

by : (http://www.bisnisbali.com/2010/07/13/news/pariwisata/c.html)

Sebagian Penduduk Desa Sidetapa merupakan para prajurit kerajaan panji sakti yang ditinggalkan, Benarkah Begitu???

Konon sebagian dari nenek moyang penduduk desa Sidetapa dulunya adalah tentara yang paling kuat dan berani Panji Sakti, yang terkenal kingof Kerajaan Buleleng di bagian utara Bali. Selama ratusan tahun, mereka mendedikasikan hidup mereka untuk melindungi kerajaan Buleleng dari setiap ancaman yang mungkin.
Kebanyakan orang di desa tersebut bangga dengan darah Ksatria (prajurit) yang mereka miliki. Mereka ingat keberanian nenek moyang mereka menunjukkan selama pertempuran masing-masing. Salah satu pertempuran paling mematikan terjadi selama perang Banjar dua tahun, di mana Kerajaan Buleleng bertahan serangan dari pasukan kolonial Belanda pada abad 19lh.
Gusti Putu Teken, seorang sejarawan dan sekretaris Utara Yayasan Pelestarian Budaya Bali, mengingat pertempuran sengit ini sebagai bukti semangat para pejuang desa berani. "Selama pertempuran pertama, Sidetepa tentara berhasil mengalahkan pasukan Belanda lebih kuat," jelas Teken. Selama pertempuran kedua, pasukan Belanda menerapkan strategi lebih licik sementara memobilisasi sejumlah besar tentara.
"Dilengkapi dengan senjata yang lebih modern dan artileri, pasukan Belanda dengan mudah terpojok lawan mereka," kata Teken. Namun, persenjataan berat dan modern bukan satu-satunya alasan para prajurit lokal dikalahkan. "Belanda ditipu para prajurit dengan melemparkan koin perak di tanah pertempuran untuk menarik tentara miskin ke dalam berburu koin perak berharga bukan Mereka tahu. Kebutuhan riil dari mereka uang prajurit gagah berani." Sekarang, kisah-kisah heroik lama prajurit desa telah memudar dengan perubahan sosial yang cepat, "kata Teken. JP / Alit Kartaramardja
Di ambil dari (http://bataviase.co.id/node/161200)

Merangkum Kehidupan Desa Kuno

BULELENG memiliki banyak desa tua yang berderet di dataran tinggi Kecamatan Banjar dan Tejakula. Di Banjar terdapat Desa Sidatapa, Pedawa, Cempaga, Tigawasa dan Banyusri. Di Tejakula masih berdiri dengan unik Desa Sembiran, Julah dan desa lain yang masih berkaitan erat dengan desa-desa tua di Kabupaten Bangli.
Sebagai desa yang bernilai sejarah, tentu saja desa tua ini punya banyak tradisi budaya yang khas, yang patut dipertahankan, bukan semata-mata untuk kepentingan pariwisata, tetapi lebih jauh sebagai aset untuk menelusuri sejarah masa lalu. Masa lalu yang jadi cermin di masa depan. Begitulah yang dilakukan warga Desa Sidatapa --salah satu desa tua -- di Kecamatan Banjar.
Memasuki Desa Sidatapa di Kecamatan Banjar, Buleleng, rasanya seperti menyelinap ke dalam sebuah lukisan indah tentang kehidupan Bali masa lalu. Suasana hutan yang sejuk dan jalan setapak yang dikitari gugusan semak dan pepohonan besar senantiasa menawarkan suasana alam yang meski terkesan liar, namun memberi rasa teduh dan damai. Apalagi ketika masuk ke pemukiman, suasana kehidupan yang polos dan bersahaja tergambar dari gerak-gerik masyarakatnya yang sedikit dingin namun tingkahnya menunjukkan bahwa warga Sidatapa adalah sekelompok warga yang ramah, gampang bersahabat dan mudah diajak bicara.
Desa Sidatapa merupakan salah satu dari deretan desa kuno yang hingga kini masih tersisa di belahan Bali Utara. Orang menyebutnya Desa Bali Mula atau Bali Aga, sebuah desa yang sudah memiliki otonomi sosial-budaya sebelum Kerajaan Majapahit menancapkan kekuasaannya di Bali. Memang, tak begitu banyak bukti yang bisa menjelaskan secara rinci sejarah desa di ketinggian 500 meter dari atas permukaan laut itu.
Selain cerita sejarah yang dituturkan dari generasi ke generasi, satu bukti penting yang menjelaskan keberadaan desa kuno ini adalah rumah adat yang memang terkesan tua alias kuno. Namun, jika ingin melihat rumah kuno itu secara leluasa, tak cukup dengan hanya menelusuri jalan kecil pedesaan yang sejuk itu. Selain langka, rumah tua itu tidak dibangun menghadap ke jalan sebagaimana rumah modern saat ini. Rumah khas itu dibangun membelakangi jalan sehingga keberadaan cukup tersembunyi.
Banyak cerita unik bisa digambarkan dari keberadaan rumah tua itu yang tentu saja berhubungan erat dengan perjalanan sejarah Bali Kuno secara keseluruhan. Namanya juga rumah kuno, bahan bangunannya tentu sangat bergantung pada alam. Lantai dan temboknya dari tanah, atapnya daun kelapa, tiang, jendela dan perangkat lainnya dibuat dari bambu batangan atau anyaman bambu.
Bale Gajah Tumpang Salu
Yang unik, seluruh bagian ruang rumah tua ini ternyata merangkum semua kehidupan sosial, ekonomi, spiritual, budaya dan keamanan, dari masing-masing keluarga di desa tersebut. Artinya, seluruh kegiatan keluarga dilakukan dalam satu rumah yang memang cukup luas. Jika di Padang, Sumatera Barat, rumah adatnya bernama Rumah Gadang, rumah di Sidatapa juga punya sebutan bagus. I Wayan Ariawan, seorang tokoh muda Sidatapa yang memiliki minat besar untuk melestarikan rumah peninggalan leluhurnya itu, mengatakan bangunan kuno di Sidatapa itu bernama Bale Gajah Tumpang Salu. Bale berarti rumah, gajah menunjukkan simbol dari bangunan yang bertiang empat dalam setiap bagiannya, tumpang berarti tingkat dan salu bermakna tiga. Lengkapnya bisa disebut sebagai rumah besar yang terdiri atas tiga bagian.
Tiga bagian rumah ini memiliki fungsi sosial, ekonomi, spiritual dan budaya yang menjadi satu-kesatuan yang utuh dan saling berhubungan. Bagian utama (utamaning mandala), bagian tengah (madyaning mandala) dan sisi luar (nistaning mandala). Bagian utama dijadikan tempat persembahyangan, tidur, makan, serta tempat menyimpan alat-alat upacara, busana adat, pusaka, emas dan kekayaan lainnya. Bagian tengah digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti memasak dan melakukan upacara adat dan upacara keagamaan. Nista mandala adalah daerah luar, lokasi khusus sebagai tempat menerima tamu. Jadi, sejumlah warga mengatakan, rumah tua itu bisa dianggap sebagai pura atau merajan sekaligus sebagai tempat tinggal.
Membelakangi Jalan
Kenapa rumah ini dibangun membelakangi jalan? Kisahnya bisa dimulai dari penyerangan pasukan Majapahit ke Bali beratus-ratus tahun lalu. Sejumlah tokoh warga menceritakan, setelah terjadi penyerangan dari pasukan Majapahit, warga Bali Aga itu mengalami semacam trauma. Ada semacam ketakutan sehingga berupaya menyembunyikan diri dan segala aktivitasnya dengan membuat rumah menghadap ke hilir atau ke belakang.
Selain di Sidatapa, rumah tua juga terdapat di Desa Pedawa yang juga termasuk deretan desa tua di Buleleng. Sayangnya, hingga kini, hanya beberapa saja bangunan bersejarah itu masih berdiri di Sidatapa. Rumah yang berumur ratusan tahun memang harus mengalami perbaikan baru. Kalau tidak, memang harus direlakan untuk rubuh.
Ariawan, tokoh muda yang kini sibuk mengurus yayasan untuk menaungi upaya pelestarian di Sidatapa itu, prihatin dengan bangunan tua yang mulai menipis jumlahnya. Untuk itu, belum lama ini, ia bersama tokoh adat dan masyarakat di daerahnya membuat semacam keputusan sebagai tanggung jawab moral untuk melestarikan rumah adat di Sidatapa. Menurutnya, pelestarian itu bukan semata-mata untuk memancing turis untuk datang ke Sidatapa, tetapi lebih banyak karena alasan sejarah desa yang harus dipertahankan sehingga tidak punah.
Menurut Ariawan, terdapat beberapa keputusan yang diambil masyarakat dalam upaya pelestarian itu. Pertama, masyarakat Sidatapa harus mempertahankan rumah tua yang dimilikinya. Kalaupun harus membangun rumah baru sebaiknya membangun rumah adat yang tradisional. Kedua, jika ada warga baru yang masuk Desa Pakraman Sidatapa maka warga itu diharuskan membangun rumah adat. Meski bahan-bahannya sudah menggunakan bahan modern, namun struktur bangunannya haruslah menggunakan struktur bangunan rumah adat. Ketiga, diimbau kepada masyarakat ingin mendirikan rumah dengan arsitektur modern agar membangunnya di luar wilayah desa.
Ariana mengakui, belakangan rumah tua di Sidatapa mengalami sedikit perubahan. Misalnya dulu atapnya dari alang-alang atau daun kelapa atau bilah-bilah bambu, kini atapnya diganti dengan seng. Lantai dan temboknya yang dulu terbuat dari tanah liat kini juga mulai diganti dengan semen. Tetapi, menurutnya, struktur, fungsi dan arsitekturnya tidak banyak berubah.
Perhatian pemerintah terhadap bangunan tua di Sidatapa dan daerah Desa Bali Aga lainnya, seperti di Pedawa, Tigawasa, Banyusri, Cempaga, ternyata cukup lumayan. Ariana mengatakan, untuk pelestarian rumah adat di Sidatapa, pemerintah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tercatat sudah dua kali memberi bantuan. Kini tinggal mengetuk kesadaran masyarakat untuk melakukan pelestarian terhadap peninggalan nenek moyangnya yang bernilai sejarah-budaya tinggi ini, kata Ariawan.
* Adnyana Ole
Diambil dari : (http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/7/19/bd1.htm)

Rumah Unik Desa Sidatapa

Sidetapa adalah sebuah desa tradisional di daerah Kabupaten Buleleng. Sidetapa Desa ini terletak di Kecamatan Banjar, di daerah pegunungan sekitar 600-800 meter di atas bukit. Desa ini sekitar 5 kilometer dari jalan utama.
Desa ini, pada kenyataannya, tidak terpencil sama sekali karena orang sudah menggunakan barang elektronik di rumah mereka.
Rumah-rumah tradisional yang keseluruhan terbuat dari bahan tanah dan semua aktivitas kehidupan terkonsentrasi di rumah.
Ada tiga rumah yang masih utuh dengan arsitektur tradisional mereka sementara rumah-rumah lainnya sudah menggunakan bahan lain dari tanah dengan arsitektur modern. Meskipun arsitektur modern mereka, seluruh kegiatan masih terkonsentrasi di rumah. Di dalam rumah yang tidak memiliki lampu, Anda akan melihat bahwa orang-orang dari Sidetapa melakukan kegiatan mereka di dalam satu kamar. Dari memasak dan tidur mereka lakukan dikamar yang sama. Orang-orang tradisional Sidetapa juga membuat kerajinan dari bambu yang mereka gunakan untuk hidup mereka.

Diambil dari :( http://baliwww.com/bali/fastfinder/singaraja/sidatapa.htm )

Kesadaran Ruang Tampul Roras Sidatapa

Kesadaran Ruang Tampul Roras Sidatapa
* Refleksi Momentum Emas 400 Singaraja, 800 Bangli (7)
PARA elite dataran Bali Selatan sepatutnya mulai menoleh pada tinggalan-tinggalan kearifan kawasan Bali Utara. Dalam pembahasaan perihal ruang hulu, misalnya, saatnya dataran Bali Selatan tidak lagi main "pukul rata" memaksakan pemahaman konsepsional model Bali Selatan semata. Melainkan mesti tetap pula menghargai dan menghormati konsepsi-konsepsi lain yang memperkaya keindahan taman keberagaman kesadaran ruang hulu yang dimiliki Bali. Dengan begitu, pemaksaan penyeragaman sudah jamnya diakhiri.
Desa Sidatapa di kawasan Buleleng bagian barat bisa memberi pemahaman alternatif lebih segar perihal inti substansi renungan manusia Bali terhadap yang dinamakan hulu itu. Bila elite agama, adat, dan budaya di dataran Bali Selatan selama ini mengklaim orientasi Bali perihal hulu itu dalam konteks arah mata angin utara dan timur, maka itu jelas tidak berlaku bagi desa-desa Bali Kuno di pegunungan Buleleng bagian barat yang kini menjadi wilayah Kecamatan Banjar, mulai dari Sidatapa, Tigawasa, Cempaga, hingga Pedawa. Visi alternatif gaya pegunungan tinggi Bali Utara itu terutama dijaga ketat oleh orang-orang Sidatapa, sebagaimana dapat dipahami benderang dari bangunan rumah tampul roras khas Sidatapa.
Tampul roras secara leksikal dapat diartikan sebagai bangunan bertiang (tampul) 12 (roras). Tetua Sidatapa memang membagi ruang pekarangan (karang) hanya menjadi dua mandala: rumah dan halaman. Beda dengan dataran Bali Selatan yang membagi pekarangan menjadi tiga mandala: hulu untuk bangunan sui, tengah untuk tempat tinggal termasuk halaman, dan hilir (teba) sebagai mandala pembuangan. Namun yang patut direnungkan dan dihargai dari konsepsi tampul roras Sidatapa ini adalah pembagian zone bangunan rumah tampul roras itu sendiri yang juga dibagi tiga: ruang utama, ruang tengah, dan beranda. Antara ruang tengah dan beranda (amben) ini dibatasi tembok keliling yang dihubungkan dengan pintu masuk-keluar.
Dalam bangunan rumah tampul roras inilah praktis berpusat kegiatan hidup manusia Sidatapa dalam konteks religius-spiritual dan kemanusiaan. Bangunan suci sarana tempat pemujaan berada di dalam rumah beruangan tertutup ini. Bentuknya sederhana berupa tumpang salu, bertingkat tiga: paga kadulu untuk pemujaan Hyang Mahasumber Maha Penghidup Mahasuci yang dibahasakan sebagai Hyang Embang, di bawahnya prataksu untuk sinar-sinar suci Mahadewata pemberi kekuatan hidup, baru batara-batari leluhur lelangit di posisi tingkatan terbawah. Dari sini sesungguhnya manusia bisa belajar mendalam perihal pelapisan tangga-tangga pemujaan spirit sumber hidup dan kehidupan.
Sesajen yang amat sederhana diletakkan di para-para (paga) kiri-kanan di atas tempat tidur di zone tengah tampul roras. Tungku dapur ditempatkan di ruang tengah bagian kiri, di bagian kanan dibuatlah penggak pangamaan, semacam meja makan. Hasil panen bukan disimpan di lumbung melainkan di para-para di ruang tengah yang dinamakan panukub. Kegiatan rutin keseharian maupun dalam konteks sosial digelar di beranda, amben.
Konsepsi tampul roras, karena itu, sangat mungkin justru merupakan kesadaran dasar bagi penataan pola ruang di dataran Bali Selatan, cuma orientasinya bukan lagi vertikal hemat ruang lahan, melainkan horisontal berkerakusan ruang lahan. Prinsipnya pasti: kaki jangan jadi kepala, kepala jangan jadi kaki. Dengan penempatan sarana bangunan suci tumpang salu tiga tingkatan ini Sidatapa justru memberi renungan pemahaman perihal inti-hakikat posisi Yang Suci hingga Yang Mahasuci Mahasumber hidup itu. Di mana Ia sesungguhnya berada?
Tampul roras Sidatapa memberi jawaban: Dia Yang Mahasuci itu ada di ketinggian ruang tapi sekaligus juga di kedalaman ruang. Ada di ubun-ubun dalam orientasi vertikal, sekaligus juga di dalam hati, seperti dibentukbangunankan dalam konsepsi tampul roras di dalam rumah sekaligus di ruang utama bagian hulu. Itu menjadi mengisyaratkan pemaknaan bahwa rumah adalah raga badan wadag manusia di mana Tuhan Mahasuci bersemayam di dalamnya, di sanalah ruang utama tumpang salu di tahapan lingkaran paga kadulu.
Di dalam rumah tubuh ragawi itu sang Diri bersatu berintegrasi dalam struktur, fungsi, dan makna yang dalam bahasa domestik Bali disebut sebagai sarira, prana, dan atma dalam konteks lingkaran dari luar ke dalam. Dalam bahasa Bali Aga model Sidatapa itu berarti lingkaran pentahapannya dari bawah ke atas: kawitan, prataksu (prana, energi), dan paga kadulu (atma). Dengan begitu ini terang visi orientasi pendakian vertikal terstruktur tersistem berlapis-lapis dari pangkal bawah ke puncak ketinggian langit pembebasan, layaknya juga diwujudkan sebagai tahapan-tahapan spiral meru yang mengerucut ke ujung atas menembus langit lepas. Di tubuh ruang ragawi diri masing-masing itulah manusia sepatutnya bertapa (tapa) hingga menuai keberhasilan (sida). Dengan begitu manusia menjadi Sidatapa, manusia yang mencapai puncak pencapaian keheningan kemerdekaan kemandirian dengan melakukan pengendalian, tapa.
Memang, arsitektur paling dasar elementer sesungguhnya adalah respons manusia terhadap alam lingkungan sekitarnya. Ketinggian alam pegunungan, hutan dengan binatang buas, dan hawa dingin menyengat sangat mungkin menjadi dasar pertimbangan paling dasar elementer merespons alam lingkungan untuk tempat tinggal menetap bagi para moyang Sidatapa. Naluri pertama paling cerdas ya mengantisipasi kemungkinan serangan binatang buas, kejaran musuh, dan kepungan hawa dingin. Dapat diterima akal sehat bila rumah relatif rendah, tertutup, sedikit ventilasi. Tapi, itu juga bisa menjadi jawaban sikap penolakan terhadap keangkuhan para arya Majapahit yang menaklukkan Bali semena-mena, di mana orang Bali Mula lantas memilih posisi ketinggian untuk penyelamatan pertahanan diri.
Namun hikmah elok bagus patut dihargai dari penyikapan yang dituangkan ke dalam pola arsitektur pemukiman genius tampul roras dalam konteks kekinian adalah kehematan ruang lahan luar biasa. Ini sangat beda dengan dataran Bali Selatan yang sangat boros, bahkan cenderung rakus, ruang lahan, karena kecenderungan sikap pengembangan pola arsitektur horisontal dan terpisah-pisah, bukan terintegrasi model tampul roras. Paga kadulu dijadikan bangunan padmasana nylegodog tunggal terpisah tersendiri, prataksu tersendiri, untuk kawitan jadi rong tiga terpisah tersendiri pula. Lalu, fungsi-fungsi arsitektur terintegrasi kemanusiaan pun dipisah-pisah pula di Bali dataran menjadi bale meten atau bale daja, bale dangin, bale delod, bale dauh, sampai dapur (paon), sehingga jelas pasti boros ruang lahan. Ketika manusia kian membanyak, maka luas tanah lahan Bali yang tetap pun dirasakan menyempit, kawasan kosong karang bengang karang tuang beralih fungsi jadi kawasan terbangun, sehingga rasa ruang jadi kian tak nyaman, manusia lantas kian stres.
Toh Sidatapa masih memberi pelajaran simbolik lain lewat pola pemukiman dengan penempatan rumah linier, tidak dikenal tembok-tembok pembatas (panyengker) dengan arah ke kekerendahan. Halaman rumah antartetangga jadi tampak menyatu, tidak langsung mapamasuan ke jalan raya melainkan ke rurung (gang) kecil. Ini pelajaran kesetaraan, keegaliteran, kebersamaan, kerendahan hati, dan demokrasi nan indah yang bisa digelar manusia yang sudah mencapai puncak kulminasi keberhasilan kesadaran Sidatapa. Di sini tidak ada hirarki kasta maupun wangsa layaknya Bali Majapahit, melainkan semuanya kasamen, sama, setara. Para arya berdarah Majapahit yang melarikan diri dari Bali Selatan dataran pun dipaksa membuang kasta atau wangsa-nya bila mau jadi warga Sidatapa, sehingga menjadilah semuanya kasamen, sebagai sesama manusia.
Maka teramat sayang bila belakangan tampul roras hanya diambil Bali dataran sebatas sebagai bale saka roras (bangunan bertiang 12) terbuka untuk kegiatan serba guna keadatan. Bahkan, teramat sayang pula manakala warga Sidatapa sendiri juga salah makna, manakala mengartikan sida sebagai luka, bukan keberhasilan, sehingga seperti terus terbelit terpancing kekerasan ragawi.
Sungguh keliru dan sangat menggampangkan keragaman realitas andai para elite pemimpin Bali membahasakan Bali hanya sebagai homogen dengan ukuran-ukuran realitas dataran Bali Selatan yang berpenjajahan feodal Majapahit. Lebih keliru lagi kalau sampai elite pemimpin Buleleng malah meniru-niru dataran Bali Selatan, sampai pura unik nan otentik khas Bulelengan pun dipreteli menjadi seragam monyer Gianyaran Bali Selatan. Itu sama saja dengan membuldozer keragaman bongkahan pegunungan menjadi dataran landai rentan banjir sekaligus gampang ditaklukkan.
Saatnya Bali kini kembali belajar lebih menghayati dan melakonkan keragaman, bukan malah membinasakan keindahan taman keragaman hidup dengan kekakuan keseragaman pemaknaan, tafsir, maupun lelakon hidup, karena tanda orang cerdas adalah menghargai dan menerima perbedaan keragaman sebagai keniscayaan amat indah. Begitulah pertanda orang yang sudah sampai di puncak ketinggian kulminasi sidatapa.
* I Made Prabaswara
Diterbitkan  oleh : (http://www.balipost.com/balipostcetak/2004/1/25/a4.html)