Kamis, 27 Januari 2011

Desa Tua di Bali Utara Potensi Layak Jual, Penggarapan tak Maksimal

Bicara soal salah satu daerah di Bali yang memiliki potensi kekayaan pariwisata lengkap, Buleleng pasti masuk kriteria. Kabupaten di utara Bali ini memiliki areal pertanian dan laut yang cukup luas. Tak hanya itu, Buleleng juga punya sederet desa tua, baik di bagian timur maupun barat. Adalah sebuah kesalahan bila potensi itu kemudian tak dikembangkan secara baik dan benarsehingga lambat laun pariwisata Buleleng kalah gaung ketimbang Bali Selatan.
--------------------------

Bila dirunut dari bagian barat, di pegunungan yang berhawa sejuk, Buleleng memiliki kawasan desa tua yang dikenal sebagai SCTP: Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa. Di bagian timur, tepatnya di Kecamatan Tejakula ada Julah, Pacung, Sembiran, Les, Penuktukan dan Sambirenteng. Selama ini pelaku pariwisata di Bali Utara terkesan kurang maksimal mengelola kekayaan budaya dan warisan kolonial yang ditinggalkan kaum imperialis. Padahal lepas dari keuntungan yang diperoleh dari manisnya pariwisata, keindahan alam dan budaya yang dianugerahkan Tuhan kepada Bali, kepada Buleleng, perlu dibagi kepada wisatawan.
Dinas Kebudayaan Pariwisata (Disbudpar) tidak menutup mata terhadap potensi budaya dan spiritual yang ada di Buleleng. Pihak Disbudpar telah melakukan upaya pengembangan desa-desa tua yang ada di Bali Utara itu. Kadisbudpar Buleleng I.B. Puja Erawan mengatakan, Desa Sembiran merupakan salah satu desa tua yang telah dikembangkan, menyusul beberapa desa lainnya seperti Sidatapa. Sembiran memiliki rumah yang berusia ratusan tahun. Untuk melestarikannya, pihaknya bersama Pemkab dan desa adat membangun dan mempertahankan rumah tua ala Sembiran itu.
Demikian pula rumah tua di Sidatapa. Desa di pegunungan itu memiliki bentuk rumah yang unik dengan pintu yang terletak di belakang rumah, bukan di depan sebagaimana rumah pada umumnya. Sejauh ini upaya pelestarian rumah tua itu cukup membuahkan hasil. "Memang wisatawan yang berkunjung ke Buleleng mayoritas berasal dari kawasan Eropa. Wisatawan ini mempunyai karakteristik berbeda dengan wisatawan dari Amerika, misalnya. Wisatawan Eropa cenderung menyukai objek yang berkaitan dengan budaya dan hal spiritual," jelasnya.
Bukan hanya desa tua, Disbudpar juga melakukan upaya pelestarian terhadap pura yang telah berusia ratusan tahun. Di Buleleng terdapat beberapa pura tua yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Sebut saja Pura Meduwe Karang di Kecamatan Kubutambahan dan Pura Beji, Sangsit. Kedua pura ini juga telah dikembangkan sebagai salah satu daya tarik pariwisata. Pura bukanlah objek wisata yang bisa dieksploitasi, namun menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Sebelumnya wisatawan yang berkunjung ke Buleleng telah disuguhi keindahan beberapa pura lainnya -- yang lebih dulu dikembangkan -- seperti Pura Pulaki dan Melanting, Gerokgak.
Soal pengembangan pariwisata budaya, sejarah, desa tua, pura dan objek spiritual lainnya, Kepala Dinas Pariwisata Bali (Disparda) Gede Nurjaya dalam sebuah acara diskusi pengembangan pariwisata Buleleng beberapa waktu lalu mengatakan, pariwisata sejarah merupakan trend yang sedang digandrungi wisatawan, terutama wisatawan Belanda. Dia memperhatikan, pascabom kunjungan wisatawan Belanda ke Bali cenderung naik. Belanda merupakan pasar loyal bagi pariwisata. Itu bisa jadi peluang baik bagi Bali, khususnya Buleleng. "Wisatawan Belanda suka Bali. Mereka senang melihat peninggalan sejarah nenek moyangnya di Bali seperti bangunan yang beraksitektur Belanda dan sebagainya," ujarnya.
Lelaki asal Buleleng itu menyebutkan, wisatawan sekarang cenderung menyukai hal-hal yang bersifat budaya dan sejarah. Yang perlu menjadi perhatian, pelaku pariwisata harus melakukan koordinasi dengan pemerintah untuk mengemas potensi pariwisata sejarah yang dimiliki sehingga memiliki daya tarik dan daya jual bagi wisatawan. Misalnya dengan membuat dokumentasi foto-foto sejarah tempo dulu dan sebagainya. "Tetapi untuk mengemasnya menjadi menarik, perlu dilakukan upaya secara kontinu, mempersiapkan infrastuktur dan melakukan promosi yang gencar," ucapnya.
Siapkan Mental
Untuk mengembangkan pariwisata budaya terutama terkait dengan desa tua yang dimiliki Buleleng, banyak aspek yang perlu diperhatikan. Salah satunya kesiapan mental dan sosial masyarakat di desa tua itu. Jangan sampai terjadi ketimpangan yang terlalu jauh. "Masyarakat desa setempat memang harus dibina dan dipersiapkan agar mereka tidak kaget ketika ruang hidup mereka selama ini tiba-tiba ramai didatangi wisatawan," ujar Puja Erawan.
Menurut lelaki ramah ini, hal terpenting yang masih dimiliki masyarakat desa adalah keramahan dan kebersahajaannya. Hal itu yang harus dipelihara. Pengembangan desa tua sebagai objek pariwisata harus mengikuti satu pola tersendiri. Dia mengambil contoh Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli. Desa itu dikembangkan dengan mengikuti pola tersendiri. Rumah dan angkul-angkul ditata apik, seragam. Lain halnya dengan pola pengembangan desa tua di Buleleng. Dia kurang sependapat bila penataan desa tua yang ada di Bali Utara itu diseragamkan, menjadi artifisial. "Alami saja. Tata sebagaimana adanya tanpa banyak melakukan perubahan. Agar, ketika wisatawan berkunjung, mereka  bisa membaur dengan masyarakat dan melihat keadaan sebenarnya," paparnya.
Ketua Majelis Madya Desa Pakraman Buleleng Made Rimbawa, B.A. mengutarkan hal yang tak jauh berbeda. Dia sependapat bila Pemkab Buleleng lebih gencar mengembangkan desa tua yang ada. Tetapi, menurutnya, pengelolaan pariwisata itu jangan sampai mengabaikan nilai adat dan budaya Bali, seperti konsep Tri Hita Karana dan Tat Twam Asi. Konsep itu harus diterapkan dalam menata objek yang ada. Misalnya saat membangun rumah tua khas Sembiran. Desain rumah itu harus disesuaikan dengan konsep budaya Bali.
Dia menilai, ada dikotomi warga desa tua yang perlu dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan pariwisata. Ada sebagian warga desa yang tetap teguh bertahan di tengah terjangan nilai-nilai baru. Sementara di sisi lain, ada juga warga yang ingin mengubah tatanan dengan berbagai alasan. Mengikuti modernisasi, itu alasan yang kerap dilontarkan. Hal ini, menurutnya, perlu dipikirkan semua pihak. Bagaimana menemukan titik tengah yang menjembatani kedua prinsip itu. "Kemajuan seperti apa yang dituju? Bila kemajuan diperoleh dengan cara meninggalkan adat dan budaya, saya kira salah. Saya tidak sependapat," tegasnya.
Tak mudah memang, mengembangan potensi kepariwisataan terutama di bidang budaya. Semua kepentingan dari berbagai pihak harus ditampung. Jangan sampai gula-gula pariwisata dinikmati segelintir orang "besar," sementara "penyakit" dan "sampahnya" diterima masyarakat desa. Menanggapi kekhawatiran itu, Puja Erawan menegaskan pihaknya terus berupaya agar kemajuan pariwisata Buleleng tetap memberi kontribusi langsung bagi masyarakat. (ari)

by : http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2006/1/19/par1.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar