Rabu, 26 Januari 2011

Kesadaran Ruang Tampul Roras Sidatapa

Kesadaran Ruang Tampul Roras Sidatapa
* Refleksi Momentum Emas 400 Singaraja, 800 Bangli (7)
PARA elite dataran Bali Selatan sepatutnya mulai menoleh pada tinggalan-tinggalan kearifan kawasan Bali Utara. Dalam pembahasaan perihal ruang hulu, misalnya, saatnya dataran Bali Selatan tidak lagi main "pukul rata" memaksakan pemahaman konsepsional model Bali Selatan semata. Melainkan mesti tetap pula menghargai dan menghormati konsepsi-konsepsi lain yang memperkaya keindahan taman keberagaman kesadaran ruang hulu yang dimiliki Bali. Dengan begitu, pemaksaan penyeragaman sudah jamnya diakhiri.
Desa Sidatapa di kawasan Buleleng bagian barat bisa memberi pemahaman alternatif lebih segar perihal inti substansi renungan manusia Bali terhadap yang dinamakan hulu itu. Bila elite agama, adat, dan budaya di dataran Bali Selatan selama ini mengklaim orientasi Bali perihal hulu itu dalam konteks arah mata angin utara dan timur, maka itu jelas tidak berlaku bagi desa-desa Bali Kuno di pegunungan Buleleng bagian barat yang kini menjadi wilayah Kecamatan Banjar, mulai dari Sidatapa, Tigawasa, Cempaga, hingga Pedawa. Visi alternatif gaya pegunungan tinggi Bali Utara itu terutama dijaga ketat oleh orang-orang Sidatapa, sebagaimana dapat dipahami benderang dari bangunan rumah tampul roras khas Sidatapa.
Tampul roras secara leksikal dapat diartikan sebagai bangunan bertiang (tampul) 12 (roras). Tetua Sidatapa memang membagi ruang pekarangan (karang) hanya menjadi dua mandala: rumah dan halaman. Beda dengan dataran Bali Selatan yang membagi pekarangan menjadi tiga mandala: hulu untuk bangunan sui, tengah untuk tempat tinggal termasuk halaman, dan hilir (teba) sebagai mandala pembuangan. Namun yang patut direnungkan dan dihargai dari konsepsi tampul roras Sidatapa ini adalah pembagian zone bangunan rumah tampul roras itu sendiri yang juga dibagi tiga: ruang utama, ruang tengah, dan beranda. Antara ruang tengah dan beranda (amben) ini dibatasi tembok keliling yang dihubungkan dengan pintu masuk-keluar.
Dalam bangunan rumah tampul roras inilah praktis berpusat kegiatan hidup manusia Sidatapa dalam konteks religius-spiritual dan kemanusiaan. Bangunan suci sarana tempat pemujaan berada di dalam rumah beruangan tertutup ini. Bentuknya sederhana berupa tumpang salu, bertingkat tiga: paga kadulu untuk pemujaan Hyang Mahasumber Maha Penghidup Mahasuci yang dibahasakan sebagai Hyang Embang, di bawahnya prataksu untuk sinar-sinar suci Mahadewata pemberi kekuatan hidup, baru batara-batari leluhur lelangit di posisi tingkatan terbawah. Dari sini sesungguhnya manusia bisa belajar mendalam perihal pelapisan tangga-tangga pemujaan spirit sumber hidup dan kehidupan.
Sesajen yang amat sederhana diletakkan di para-para (paga) kiri-kanan di atas tempat tidur di zone tengah tampul roras. Tungku dapur ditempatkan di ruang tengah bagian kiri, di bagian kanan dibuatlah penggak pangamaan, semacam meja makan. Hasil panen bukan disimpan di lumbung melainkan di para-para di ruang tengah yang dinamakan panukub. Kegiatan rutin keseharian maupun dalam konteks sosial digelar di beranda, amben.
Konsepsi tampul roras, karena itu, sangat mungkin justru merupakan kesadaran dasar bagi penataan pola ruang di dataran Bali Selatan, cuma orientasinya bukan lagi vertikal hemat ruang lahan, melainkan horisontal berkerakusan ruang lahan. Prinsipnya pasti: kaki jangan jadi kepala, kepala jangan jadi kaki. Dengan penempatan sarana bangunan suci tumpang salu tiga tingkatan ini Sidatapa justru memberi renungan pemahaman perihal inti-hakikat posisi Yang Suci hingga Yang Mahasuci Mahasumber hidup itu. Di mana Ia sesungguhnya berada?
Tampul roras Sidatapa memberi jawaban: Dia Yang Mahasuci itu ada di ketinggian ruang tapi sekaligus juga di kedalaman ruang. Ada di ubun-ubun dalam orientasi vertikal, sekaligus juga di dalam hati, seperti dibentukbangunankan dalam konsepsi tampul roras di dalam rumah sekaligus di ruang utama bagian hulu. Itu menjadi mengisyaratkan pemaknaan bahwa rumah adalah raga badan wadag manusia di mana Tuhan Mahasuci bersemayam di dalamnya, di sanalah ruang utama tumpang salu di tahapan lingkaran paga kadulu.
Di dalam rumah tubuh ragawi itu sang Diri bersatu berintegrasi dalam struktur, fungsi, dan makna yang dalam bahasa domestik Bali disebut sebagai sarira, prana, dan atma dalam konteks lingkaran dari luar ke dalam. Dalam bahasa Bali Aga model Sidatapa itu berarti lingkaran pentahapannya dari bawah ke atas: kawitan, prataksu (prana, energi), dan paga kadulu (atma). Dengan begitu ini terang visi orientasi pendakian vertikal terstruktur tersistem berlapis-lapis dari pangkal bawah ke puncak ketinggian langit pembebasan, layaknya juga diwujudkan sebagai tahapan-tahapan spiral meru yang mengerucut ke ujung atas menembus langit lepas. Di tubuh ruang ragawi diri masing-masing itulah manusia sepatutnya bertapa (tapa) hingga menuai keberhasilan (sida). Dengan begitu manusia menjadi Sidatapa, manusia yang mencapai puncak pencapaian keheningan kemerdekaan kemandirian dengan melakukan pengendalian, tapa.
Memang, arsitektur paling dasar elementer sesungguhnya adalah respons manusia terhadap alam lingkungan sekitarnya. Ketinggian alam pegunungan, hutan dengan binatang buas, dan hawa dingin menyengat sangat mungkin menjadi dasar pertimbangan paling dasar elementer merespons alam lingkungan untuk tempat tinggal menetap bagi para moyang Sidatapa. Naluri pertama paling cerdas ya mengantisipasi kemungkinan serangan binatang buas, kejaran musuh, dan kepungan hawa dingin. Dapat diterima akal sehat bila rumah relatif rendah, tertutup, sedikit ventilasi. Tapi, itu juga bisa menjadi jawaban sikap penolakan terhadap keangkuhan para arya Majapahit yang menaklukkan Bali semena-mena, di mana orang Bali Mula lantas memilih posisi ketinggian untuk penyelamatan pertahanan diri.
Namun hikmah elok bagus patut dihargai dari penyikapan yang dituangkan ke dalam pola arsitektur pemukiman genius tampul roras dalam konteks kekinian adalah kehematan ruang lahan luar biasa. Ini sangat beda dengan dataran Bali Selatan yang sangat boros, bahkan cenderung rakus, ruang lahan, karena kecenderungan sikap pengembangan pola arsitektur horisontal dan terpisah-pisah, bukan terintegrasi model tampul roras. Paga kadulu dijadikan bangunan padmasana nylegodog tunggal terpisah tersendiri, prataksu tersendiri, untuk kawitan jadi rong tiga terpisah tersendiri pula. Lalu, fungsi-fungsi arsitektur terintegrasi kemanusiaan pun dipisah-pisah pula di Bali dataran menjadi bale meten atau bale daja, bale dangin, bale delod, bale dauh, sampai dapur (paon), sehingga jelas pasti boros ruang lahan. Ketika manusia kian membanyak, maka luas tanah lahan Bali yang tetap pun dirasakan menyempit, kawasan kosong karang bengang karang tuang beralih fungsi jadi kawasan terbangun, sehingga rasa ruang jadi kian tak nyaman, manusia lantas kian stres.
Toh Sidatapa masih memberi pelajaran simbolik lain lewat pola pemukiman dengan penempatan rumah linier, tidak dikenal tembok-tembok pembatas (panyengker) dengan arah ke kekerendahan. Halaman rumah antartetangga jadi tampak menyatu, tidak langsung mapamasuan ke jalan raya melainkan ke rurung (gang) kecil. Ini pelajaran kesetaraan, keegaliteran, kebersamaan, kerendahan hati, dan demokrasi nan indah yang bisa digelar manusia yang sudah mencapai puncak kulminasi keberhasilan kesadaran Sidatapa. Di sini tidak ada hirarki kasta maupun wangsa layaknya Bali Majapahit, melainkan semuanya kasamen, sama, setara. Para arya berdarah Majapahit yang melarikan diri dari Bali Selatan dataran pun dipaksa membuang kasta atau wangsa-nya bila mau jadi warga Sidatapa, sehingga menjadilah semuanya kasamen, sebagai sesama manusia.
Maka teramat sayang bila belakangan tampul roras hanya diambil Bali dataran sebatas sebagai bale saka roras (bangunan bertiang 12) terbuka untuk kegiatan serba guna keadatan. Bahkan, teramat sayang pula manakala warga Sidatapa sendiri juga salah makna, manakala mengartikan sida sebagai luka, bukan keberhasilan, sehingga seperti terus terbelit terpancing kekerasan ragawi.
Sungguh keliru dan sangat menggampangkan keragaman realitas andai para elite pemimpin Bali membahasakan Bali hanya sebagai homogen dengan ukuran-ukuran realitas dataran Bali Selatan yang berpenjajahan feodal Majapahit. Lebih keliru lagi kalau sampai elite pemimpin Buleleng malah meniru-niru dataran Bali Selatan, sampai pura unik nan otentik khas Bulelengan pun dipreteli menjadi seragam monyer Gianyaran Bali Selatan. Itu sama saja dengan membuldozer keragaman bongkahan pegunungan menjadi dataran landai rentan banjir sekaligus gampang ditaklukkan.
Saatnya Bali kini kembali belajar lebih menghayati dan melakonkan keragaman, bukan malah membinasakan keindahan taman keragaman hidup dengan kekakuan keseragaman pemaknaan, tafsir, maupun lelakon hidup, karena tanda orang cerdas adalah menghargai dan menerima perbedaan keragaman sebagai keniscayaan amat indah. Begitulah pertanda orang yang sudah sampai di puncak ketinggian kulminasi sidatapa.
* I Made Prabaswara
Diterbitkan  oleh : (http://www.balipost.com/balipostcetak/2004/1/25/a4.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar