Sabtu, 17 September 2011

NARKOBA

SEBUAH CERITA TENTANG NARKOBA


Hidup sehat dan indah sebelum kenal dengan NARKOBA

Transaksi NARKOBA adalah awal dari kehancuran hidup


Pemakai NARKOBA cuma indah sesaat, sesudah itu akan menjadi penderitaan seumur hidup


Pemakai NARKOBA yang berlebihan akan menyebabkan kecanduan 


Pecandu akan menjadi ketergantungan terhadap NARKOBA dan akan melakukan apa saja untuk mendapatkan NARKOBA


Untuk mendapatkan NARKOBA si pecandu akan melakukan apa saja Mencuri, menjual tanah, menjual harta warisan, menghabiskan tabungan bahkan menjual diri.


Pecandu NARKOBA akan menurunkan rasa kesadaran
sehingga menjadi mudah tersinggung, marah, suka menantang orang tua dan keluarga.


Pemakai NARKOBA dengan jumlah yang banyak akan menyebabkan overdosis



Pemakai NARKOBA juga lebih mudah terjangkit penyakit


Pemakai NARKOBA tinggal menunggu MATI

JADI JANGAN PERNAH BERANI MENGUNAKAN NARKOBA. 
INGAT YANG RUGI BUKAN KITA SAJA TAPI SEMUA ORANG YANG KITA SAYANG.

Sabtu, 12 Maret 2011

10 BENCANA BESAR AKIBAT GLOBAL WARMING

Apa saja bencana mematikan yang ditimbulkan oleh  global warming ? Beberapa diperkirakan bakal terjadi puluhan tahun ke depan, tapi sebagian lagi  sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu. Silahkan simak bencana besar yang akan terjadi akibat global warming di bawah ini.  Hal ini bukan untuk menakut-nakuti , tapi mudah-mudahan bikin kita semua tergerak untuk   menjaga  kelestarian  alam  yang hijau.
1. Gletser  Menciut
gletser-cair Gletser adalah daratan yang terbuat dari es. Gletser bakal ikut meleleh dan menciut seiring dengan bertambahnya suhu bumi. Suhu bumi meningkat karena tingginya emisi gas rumah kaca  di atmosfer. Selama tahun 1990- 2005  saja suhu bumi naik 0,15 - 0,3 derajat celcius.  Gletser Himalaya yang memasok air ke sungai Gangga sekaligus menyediakan irigasi dan suplai air minum untuk 500 juta penduduk,menyusut 37 meter pertahun.Gletser di kutub semakin cepat mencair hingga membuat permukaan air laut di bumi naik.
2. Pulau Tenggelam
tenggelamnya-pulauIndonesia , Amerika Serikat, dan Bangladesh adalah beberapa negara yang paling terancam tenggelam. Bahkan beberapa pulau di Indonesia sudah hilang tenggelam. Ini disebabkan mencairnya permukaan gletser di kutub yang membuat volume air laut meningkat drastis. Menyusutnya hutan bakau memperparah pasangnya air laut.  Sekarang saja pasang air laut  Pantai Kuta telah membanjiri beberapa lobi hotel disekitarnya. Pulau Jawa juga bernasib sama , sampai saat ini permukaan Teluk Jakarta sudah naik 0,8 cm. Dan kalau suhu bumi terus naik , tahun 2050 derah-daerah Jakarta dan Bekasi seperti Kosambi , Penjaringan , Cilincing , Muaragembong , dan Tarumajaya akan terendam.
3. Badai
photo-badai-katrinaBadai memang bisa terjadi karena kehendak alam. Tapi suhu air yang menghangat akibat global warming mendukung terjadinya badai yang jauh lebih kuat dan besar. Beberapa tahun belakangan ini , negara-negara di Eropa, Amerika, dan  Karibia telah mengalami begitu banyak badai dibandingkan abad sebelumnya. Bahkan badai-badai tersebut bukan cuma badai biasa, namun  masuk kategori badai mematikan , seperti badai katrina,badai ike, badai nargis, badai rita,dll.
4. Gelombang Panas
fatamorganaTahun 2003  lalu,  Eropa diserang gelombang panas alias heat wave , yang menewaskan banyak orang. Mengejutkan ! Tapi bencana ini sudah diperkirakan ratusan tahun yang lalu , tepatnya tahun 1900 oleh para ilmuwan di masa itu . Gelombang panas memang pernah  terjad beberapa kali di bumi , namun belakangan ini makin sering terjadi. Dan diperkirakan 40 tahun lagi frekwensinya akan meningkat 100 kali lipat.
5. Kekeringan
keringAfrika, India, dan daerah-daerah kering lainnya bakal menderita kekeringan lebih parah ! Air akan makin sulit di dapat dan tanah tak bisa ditanami apa-apa lagi, hingga suplai makanan berkurang drastis. Ilmuwan memperkirakan hasil tani negara-negara Afrika akan menurun 50 % di tahun 2020 , dan tingkat kekeringan di dunia meningkat 66 % . Tak terbayang kalau kekeringan ini sampai terjadi di bumi ini.
6. Perang dan Konflik
vietnam-war-helicopter
Negara yang kekurangan air dan bahan pangan kemungkinan besar akan mengalami panik dan berubah jadi agresif. Lalu bukan tak mungkin mereka berusaha saling merebut lahan yang belum rusak.
7. Penyakit Merajalela
ebola_1Malaria, demam berdarah , ebola , dan banyak penyakit yang dulu cuma di anggap sebagai penyakit negara tropis , bisa menyebar ke berbagai negara  Eropa yang dikenal dingin. Penyebabnya apalagi kalau bukan banjir atau kekeringan yang mengundang banyak hewan pembawa penyakit bersarang disana!!!
8. Perekonomian Kacau
Ladang tani , perkebunan yang biasanya menghasilkan akan musnah ole banjir atau kekeringan. Penduduk akan di buat makin menderita karena stok bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya akan jauh berkurang dan harganya pasti akan melambung naik. Pemerintah juga membutuhkan biaya yang banyak untuk membangun kembali wilayah yang terkena bencana dan menanggulangi penyakit yang mewabah.
9. Ekosistem Hancur
0Perubahan iklim yang terjadi akibat global warming akan menghancurkan ekosistem yang ada. Setelah sebagian mahkluk hidup di bumi musnah akibat bencana kekeringan, banjir , badai, atau ditenggelamkan air laut, mahkluk hidup yang tersisa bakal mengalami kesulitan untuk bertahan hidup. Penyebabnya adalah berkurangnya sumber air , udara bersih, bahan bakar , sumber energi , bahan makanan, obat-obatan yang dibutuhkan untuk survive.
10. Mahkluk Hidup Punah
snn1829a-682_891182a
Sebanyak 30 % mahkluk hidup yang ada  sekarang bakal musnah tahun 2050 kalau temperatur bumi terus naik. Spesies yang punah ini kebanyakan yang habitatnya di tempat dingin . Hewan-hewan laut diperkirakan banyak yang tak bisa bertahan setelah suhu air laut jadi menghangat. Kalau tumbuhan dan hewan makin berkurang, jelas manusia akhirnya terancam karena kekurangan bahan makanan.


Diambul dari  : http://yoszuaccalytt.blogdetik.com/2010/03/21/10-bencana-besar-akibat-global-warming/comment-page-1/

Kamis, 27 Januari 2011

Desa Tua di Bali Utara Potensi Layak Jual, Penggarapan tak Maksimal

Bicara soal salah satu daerah di Bali yang memiliki potensi kekayaan pariwisata lengkap, Buleleng pasti masuk kriteria. Kabupaten di utara Bali ini memiliki areal pertanian dan laut yang cukup luas. Tak hanya itu, Buleleng juga punya sederet desa tua, baik di bagian timur maupun barat. Adalah sebuah kesalahan bila potensi itu kemudian tak dikembangkan secara baik dan benarsehingga lambat laun pariwisata Buleleng kalah gaung ketimbang Bali Selatan.
--------------------------

Bila dirunut dari bagian barat, di pegunungan yang berhawa sejuk, Buleleng memiliki kawasan desa tua yang dikenal sebagai SCTP: Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa. Di bagian timur, tepatnya di Kecamatan Tejakula ada Julah, Pacung, Sembiran, Les, Penuktukan dan Sambirenteng. Selama ini pelaku pariwisata di Bali Utara terkesan kurang maksimal mengelola kekayaan budaya dan warisan kolonial yang ditinggalkan kaum imperialis. Padahal lepas dari keuntungan yang diperoleh dari manisnya pariwisata, keindahan alam dan budaya yang dianugerahkan Tuhan kepada Bali, kepada Buleleng, perlu dibagi kepada wisatawan.
Dinas Kebudayaan Pariwisata (Disbudpar) tidak menutup mata terhadap potensi budaya dan spiritual yang ada di Buleleng. Pihak Disbudpar telah melakukan upaya pengembangan desa-desa tua yang ada di Bali Utara itu. Kadisbudpar Buleleng I.B. Puja Erawan mengatakan, Desa Sembiran merupakan salah satu desa tua yang telah dikembangkan, menyusul beberapa desa lainnya seperti Sidatapa. Sembiran memiliki rumah yang berusia ratusan tahun. Untuk melestarikannya, pihaknya bersama Pemkab dan desa adat membangun dan mempertahankan rumah tua ala Sembiran itu.
Demikian pula rumah tua di Sidatapa. Desa di pegunungan itu memiliki bentuk rumah yang unik dengan pintu yang terletak di belakang rumah, bukan di depan sebagaimana rumah pada umumnya. Sejauh ini upaya pelestarian rumah tua itu cukup membuahkan hasil. "Memang wisatawan yang berkunjung ke Buleleng mayoritas berasal dari kawasan Eropa. Wisatawan ini mempunyai karakteristik berbeda dengan wisatawan dari Amerika, misalnya. Wisatawan Eropa cenderung menyukai objek yang berkaitan dengan budaya dan hal spiritual," jelasnya.
Bukan hanya desa tua, Disbudpar juga melakukan upaya pelestarian terhadap pura yang telah berusia ratusan tahun. Di Buleleng terdapat beberapa pura tua yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Sebut saja Pura Meduwe Karang di Kecamatan Kubutambahan dan Pura Beji, Sangsit. Kedua pura ini juga telah dikembangkan sebagai salah satu daya tarik pariwisata. Pura bukanlah objek wisata yang bisa dieksploitasi, namun menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Sebelumnya wisatawan yang berkunjung ke Buleleng telah disuguhi keindahan beberapa pura lainnya -- yang lebih dulu dikembangkan -- seperti Pura Pulaki dan Melanting, Gerokgak.
Soal pengembangan pariwisata budaya, sejarah, desa tua, pura dan objek spiritual lainnya, Kepala Dinas Pariwisata Bali (Disparda) Gede Nurjaya dalam sebuah acara diskusi pengembangan pariwisata Buleleng beberapa waktu lalu mengatakan, pariwisata sejarah merupakan trend yang sedang digandrungi wisatawan, terutama wisatawan Belanda. Dia memperhatikan, pascabom kunjungan wisatawan Belanda ke Bali cenderung naik. Belanda merupakan pasar loyal bagi pariwisata. Itu bisa jadi peluang baik bagi Bali, khususnya Buleleng. "Wisatawan Belanda suka Bali. Mereka senang melihat peninggalan sejarah nenek moyangnya di Bali seperti bangunan yang beraksitektur Belanda dan sebagainya," ujarnya.
Lelaki asal Buleleng itu menyebutkan, wisatawan sekarang cenderung menyukai hal-hal yang bersifat budaya dan sejarah. Yang perlu menjadi perhatian, pelaku pariwisata harus melakukan koordinasi dengan pemerintah untuk mengemas potensi pariwisata sejarah yang dimiliki sehingga memiliki daya tarik dan daya jual bagi wisatawan. Misalnya dengan membuat dokumentasi foto-foto sejarah tempo dulu dan sebagainya. "Tetapi untuk mengemasnya menjadi menarik, perlu dilakukan upaya secara kontinu, mempersiapkan infrastuktur dan melakukan promosi yang gencar," ucapnya.
Siapkan Mental
Untuk mengembangkan pariwisata budaya terutama terkait dengan desa tua yang dimiliki Buleleng, banyak aspek yang perlu diperhatikan. Salah satunya kesiapan mental dan sosial masyarakat di desa tua itu. Jangan sampai terjadi ketimpangan yang terlalu jauh. "Masyarakat desa setempat memang harus dibina dan dipersiapkan agar mereka tidak kaget ketika ruang hidup mereka selama ini tiba-tiba ramai didatangi wisatawan," ujar Puja Erawan.
Menurut lelaki ramah ini, hal terpenting yang masih dimiliki masyarakat desa adalah keramahan dan kebersahajaannya. Hal itu yang harus dipelihara. Pengembangan desa tua sebagai objek pariwisata harus mengikuti satu pola tersendiri. Dia mengambil contoh Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli. Desa itu dikembangkan dengan mengikuti pola tersendiri. Rumah dan angkul-angkul ditata apik, seragam. Lain halnya dengan pola pengembangan desa tua di Buleleng. Dia kurang sependapat bila penataan desa tua yang ada di Bali Utara itu diseragamkan, menjadi artifisial. "Alami saja. Tata sebagaimana adanya tanpa banyak melakukan perubahan. Agar, ketika wisatawan berkunjung, mereka  bisa membaur dengan masyarakat dan melihat keadaan sebenarnya," paparnya.
Ketua Majelis Madya Desa Pakraman Buleleng Made Rimbawa, B.A. mengutarkan hal yang tak jauh berbeda. Dia sependapat bila Pemkab Buleleng lebih gencar mengembangkan desa tua yang ada. Tetapi, menurutnya, pengelolaan pariwisata itu jangan sampai mengabaikan nilai adat dan budaya Bali, seperti konsep Tri Hita Karana dan Tat Twam Asi. Konsep itu harus diterapkan dalam menata objek yang ada. Misalnya saat membangun rumah tua khas Sembiran. Desain rumah itu harus disesuaikan dengan konsep budaya Bali.
Dia menilai, ada dikotomi warga desa tua yang perlu dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan pariwisata. Ada sebagian warga desa yang tetap teguh bertahan di tengah terjangan nilai-nilai baru. Sementara di sisi lain, ada juga warga yang ingin mengubah tatanan dengan berbagai alasan. Mengikuti modernisasi, itu alasan yang kerap dilontarkan. Hal ini, menurutnya, perlu dipikirkan semua pihak. Bagaimana menemukan titik tengah yang menjembatani kedua prinsip itu. "Kemajuan seperti apa yang dituju? Bila kemajuan diperoleh dengan cara meninggalkan adat dan budaya, saya kira salah. Saya tidak sependapat," tegasnya.
Tak mudah memang, mengembangan potensi kepariwisataan terutama di bidang budaya. Semua kepentingan dari berbagai pihak harus ditampung. Jangan sampai gula-gula pariwisata dinikmati segelintir orang "besar," sementara "penyakit" dan "sampahnya" diterima masyarakat desa. Menanggapi kekhawatiran itu, Puja Erawan menegaskan pihaknya terus berupaya agar kemajuan pariwisata Buleleng tetap memberi kontribusi langsung bagi masyarakat. (ari)

by : http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2006/1/19/par1.htm

Ritual unik desa Sidetapa untuk menangkal kekuatan jahat

        Laki-laki berdiri di depan api di tengah-tengah halaman Pura Agung candi di desa Sidetapa. Melalui ritual Agung Briyang, mereka membersihkan senjata mereka dalam sebuah ritual untuk mengusir roh jahat apapun. Kartarahardja JP / Alit  
     Malam itu dingin dan berkabut di desa tua Sidetapa, 40 kilometer barat laut Singaraja, ibukota Kabupaten Buleleng di Bali Utara. Ratusan warga  berantusias mengambil bagian dalam upacara langka yang disebut Karya Odalan ulang Ngerebeg candi, juga disebut sebagai ritual Agung Briyang, dilaksanakan setiap tiga tahun. Mengenakan kostum tradisional yang terbaik, para wanita desa membawa persembahan besar dan berwarna-warni di kepala mereka. Ayah dan anak-anak membantu membawa perlengkapan upacara lainnya berjalan dalam prosesi yang panjang. Ritual  Briyang Agung , yang merayakan kunjungan para dewa untuk peringatan berdirinya candi utama desa mereka, biasanya dilaksanakan pada Purnamaning Kedasa, Bulan Penuh dalam bulan kesepuluh dari kalender Hindu Bali. "Inti dari ritual tersebut adalah untuk berdoa kepada Sang Pencipta dan menyambut para dewa, sementara pada saat yang sama melawan roh-roh jahat," jelas Nyoman Parna, seorang pemimpin Sidetapa.  
     Sebelum Briyang Agung, semua anggota desa melakukan serangkaian mini-ritual termasuk pemurnian Melasti prosesi ke sungai terdekat Tukad Sidetapa. Prosesi ini melibatkan  100 anggota masyarakat, dengan peserta menari dan beberapa masuk ke trans. Orang Bali percaya penari trans adalah media yang dapat mengirimkan kata tuhan selama setiap proses ritual. Pergi ke trans mungkin juga menjadi bukti kehadiran dewa '. Ritual berikutnya dilakukan adalah Sesayutan dan Wayon untuk menyambut dewa. Sehari setelah prosesi itu, semua anggota laki-laki di desa mengambil bagian dalam berburu rusa atau meboros Kidang. Sidetapa desa dulunya dikelilingi oleh hutan subur, rumah untuk rusa liar dan babi hutan. Sebagai hasil dari pertumbuhan penduduk yang cepat, hutan menjadi daerah pemukiman. "Saat ini, sangat sulit untuk menemukan rusa di hutan," kata Wayan Artha. Rusa dan babi digunakan sebagai persembahan utama. "Percaya atau tidak, kita selalu menemukan rusa di suatu tempat ketika saatnya tiba untuk melakukan ritualn"kata Artha. Puncak peringatan disebut Briyang Agung. Keluarga membawa senjata tajam mereka, keris (belati), pedang, tombak, tombak, dan lain-lain ke dalam Candi Pura Agung. Sejumlah orang menyalakan api di tengah halaman candi. Penduduk desa kemudian membawa senjata mereka di dalam pura, dengan suara musik gamelan. Banyak perempuan juga dilakukan tarian ritual untuk menemani senjata suci. Ritual pembersihan senjata dimaksudkan untuk menangkal roh jahat apapun.  
     Untuk penduduk Sidetapa, ritual ini juga sebagai menghormati leluhur mereka yang dulu kebanyakan sebagai prajurit. Berdasarkan cerita rakyat, desa Sidetapa merupakan rumah bagi prajurit kerajaan dari Kerajaan Buleleng dulu. "Senjata-senjata suci diyakini memiliki kekuatan magis. nenek moyang mereka menggunakan senjata untuk melawan musuh-musuh Kerajaan, termasuk pasukan kolonial Belanda di awal abad 19, "jelas sejarawan I Gusti Putu Teken.  
    Parna menambahkan bahwa pada tahun 1999, desa tidak mengadakan ritual. "Desa kami kemudian 'dikutuk' oleh banyak bencana," tambahnya. Upacara Briyang adalah sarana untuk memperbaharui hubungan mereka dengan para dewa dan untuk memperkuat ikatan komunal dengan satu sama lain selama persiapan ritual rumit.


by : (http://nurmadwidarmayanti.blogspot.com/2010/04/ritual-to-ward-off-evil-lives-on.html)

Rabu, 26 Januari 2011

info : Desa Tradisional di Buleleng tak Terurus

 Singaraja (Bisnis Bali) – Kendati di Buleleng terdapat desa tradisional, namun potensi itu tidak dikelola maksimal. Ini dibuktikan dengan minimnya sentuhan pengelolaan dari pemerintah daerah. Tak heran jika kondisi ini membawa kesan jika desa tradisional tak terurus.
Padahal, jika dikelola dengan baik, desa tradisional mampu mendongkrak pengembangan pariwisata di Buleleng. Apalagi, wisatawan asing belakangan ini kian banyak mencari objek wisata seperti desa tradisional.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Buleleng, Putu Tastra Wijaya, Minggu (11/7) lalu, tidak menampik jika pengelolaan objek wisata desa tradisional di Buleleng belum maksimal.
Lebih jauh Tastra mengatakan, sejak dulu Buleleng memang dikenal memiliki objek wisata desa tradisional. Objek itu berada di Kecamatan Banjar meliputi Desa Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, dan Desa Pedawa atau sering disebut dengan SCTP.

Selain itu desa tradisional juga terletak di Kecamatan Tejakula meliputi Desa Sembiran dan Desa Julah. Desa tersebut ibaratnya kini tinggal nama saja, sementara kenyataannya sudah banyak bangunan rumah milik warga dirombak untuk diubah menjadi rumah modern.

Situasi ini tidak bisa dibendung oleh pemerintah karena masyarakat sebagai pemilik rumah, sehingga kewenangan untuk merombak itu tidak bisa diintervensi. “Kita hanya bisa mengimbau agar rumah itu dipertahankan seperti aslinya, namun itu sulit karena warga sendiri yang menghendaki untuk dirombak menjadi rumah modern,” katanya.
Bukan itu saja, papan nama yang menunjukkan objek wisata desa tradisional dibiarkan rusak bertahun-tahun. Ini terjadi di pintu masuk menuju Desa Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, dan Desa Pedawa Kecamatan Banjar. Papan nama dari kayu itu kini catnya usang dan bahkan nyaris roboh karena kayu penyangganya sudah lapuk. Bahkan, papan itu sangat sulit dilihat karena terhalang oleh bangunan gapura di Jalan Raya Singaraja - Seririt tepatnya di Desa Temukus, Kecamatan Banjar.
Menurut Tastra, upaya nyata yang sudah dilakukan untuk menata sekaligus melestarikan desa tradisional di dua kecamatan itu pemerintah berupaya membangun bangunan rumah tua seperti aslinya. Sayangnya baru satu unit rumah tua berlokasi di Desa Sembiran yang bisa dibangun.

Rumah ini kini menjadi aset pemerintah dan dilengkapi dengan penjaganya dan sewaktu-waktu dijadikan lokasi untuk menjamu kunjungan wisatawan asing. “Karena anggaran yang sangat terbatas, kita baru bisa bangun satu rumah saja. Kita ingin lebih banyak lagi bisa dibangun atau membeli rumah tua yang masih tersisa, tapi itu belum bisa dilakukan karena anggaran minim,” katanya.
Bagimana dengan situasi kunjungan wisatawan asing ke objek wisata desa tradisional? Tastra mengatakan, kunjungan wisatawan asing memang ada namun jumlahnya kecil. Bahkan, dia mengakui tidak memiliki data kunjungan wisatawan asing yang valid. Ini terjadi karena pihaknya kesulitan tenaga yang memandu wisatawan asing saat berkunjung ke desa tradisional, sehingga otomatis kunjungan wisatawan asing tidak terekam dengan baik.

“Saya kira ini kendala kami di lapangan dan dengan pengelolaan yang kita lakukan memang masih jauh dari harapan. Tapi kita tetap berupaya untuk mengelola objek desa tradisional agar lebih baik dari saat ini. *mud

by : (http://www.bisnisbali.com/2010/07/13/news/pariwisata/c.html)

Sebagian Penduduk Desa Sidetapa merupakan para prajurit kerajaan panji sakti yang ditinggalkan, Benarkah Begitu???

Konon sebagian dari nenek moyang penduduk desa Sidetapa dulunya adalah tentara yang paling kuat dan berani Panji Sakti, yang terkenal kingof Kerajaan Buleleng di bagian utara Bali. Selama ratusan tahun, mereka mendedikasikan hidup mereka untuk melindungi kerajaan Buleleng dari setiap ancaman yang mungkin.
Kebanyakan orang di desa tersebut bangga dengan darah Ksatria (prajurit) yang mereka miliki. Mereka ingat keberanian nenek moyang mereka menunjukkan selama pertempuran masing-masing. Salah satu pertempuran paling mematikan terjadi selama perang Banjar dua tahun, di mana Kerajaan Buleleng bertahan serangan dari pasukan kolonial Belanda pada abad 19lh.
Gusti Putu Teken, seorang sejarawan dan sekretaris Utara Yayasan Pelestarian Budaya Bali, mengingat pertempuran sengit ini sebagai bukti semangat para pejuang desa berani. "Selama pertempuran pertama, Sidetepa tentara berhasil mengalahkan pasukan Belanda lebih kuat," jelas Teken. Selama pertempuran kedua, pasukan Belanda menerapkan strategi lebih licik sementara memobilisasi sejumlah besar tentara.
"Dilengkapi dengan senjata yang lebih modern dan artileri, pasukan Belanda dengan mudah terpojok lawan mereka," kata Teken. Namun, persenjataan berat dan modern bukan satu-satunya alasan para prajurit lokal dikalahkan. "Belanda ditipu para prajurit dengan melemparkan koin perak di tanah pertempuran untuk menarik tentara miskin ke dalam berburu koin perak berharga bukan Mereka tahu. Kebutuhan riil dari mereka uang prajurit gagah berani." Sekarang, kisah-kisah heroik lama prajurit desa telah memudar dengan perubahan sosial yang cepat, "kata Teken. JP / Alit Kartaramardja
Di ambil dari (http://bataviase.co.id/node/161200)

Merangkum Kehidupan Desa Kuno

BULELENG memiliki banyak desa tua yang berderet di dataran tinggi Kecamatan Banjar dan Tejakula. Di Banjar terdapat Desa Sidatapa, Pedawa, Cempaga, Tigawasa dan Banyusri. Di Tejakula masih berdiri dengan unik Desa Sembiran, Julah dan desa lain yang masih berkaitan erat dengan desa-desa tua di Kabupaten Bangli.
Sebagai desa yang bernilai sejarah, tentu saja desa tua ini punya banyak tradisi budaya yang khas, yang patut dipertahankan, bukan semata-mata untuk kepentingan pariwisata, tetapi lebih jauh sebagai aset untuk menelusuri sejarah masa lalu. Masa lalu yang jadi cermin di masa depan. Begitulah yang dilakukan warga Desa Sidatapa --salah satu desa tua -- di Kecamatan Banjar.
Memasuki Desa Sidatapa di Kecamatan Banjar, Buleleng, rasanya seperti menyelinap ke dalam sebuah lukisan indah tentang kehidupan Bali masa lalu. Suasana hutan yang sejuk dan jalan setapak yang dikitari gugusan semak dan pepohonan besar senantiasa menawarkan suasana alam yang meski terkesan liar, namun memberi rasa teduh dan damai. Apalagi ketika masuk ke pemukiman, suasana kehidupan yang polos dan bersahaja tergambar dari gerak-gerik masyarakatnya yang sedikit dingin namun tingkahnya menunjukkan bahwa warga Sidatapa adalah sekelompok warga yang ramah, gampang bersahabat dan mudah diajak bicara.
Desa Sidatapa merupakan salah satu dari deretan desa kuno yang hingga kini masih tersisa di belahan Bali Utara. Orang menyebutnya Desa Bali Mula atau Bali Aga, sebuah desa yang sudah memiliki otonomi sosial-budaya sebelum Kerajaan Majapahit menancapkan kekuasaannya di Bali. Memang, tak begitu banyak bukti yang bisa menjelaskan secara rinci sejarah desa di ketinggian 500 meter dari atas permukaan laut itu.
Selain cerita sejarah yang dituturkan dari generasi ke generasi, satu bukti penting yang menjelaskan keberadaan desa kuno ini adalah rumah adat yang memang terkesan tua alias kuno. Namun, jika ingin melihat rumah kuno itu secara leluasa, tak cukup dengan hanya menelusuri jalan kecil pedesaan yang sejuk itu. Selain langka, rumah tua itu tidak dibangun menghadap ke jalan sebagaimana rumah modern saat ini. Rumah khas itu dibangun membelakangi jalan sehingga keberadaan cukup tersembunyi.
Banyak cerita unik bisa digambarkan dari keberadaan rumah tua itu yang tentu saja berhubungan erat dengan perjalanan sejarah Bali Kuno secara keseluruhan. Namanya juga rumah kuno, bahan bangunannya tentu sangat bergantung pada alam. Lantai dan temboknya dari tanah, atapnya daun kelapa, tiang, jendela dan perangkat lainnya dibuat dari bambu batangan atau anyaman bambu.
Bale Gajah Tumpang Salu
Yang unik, seluruh bagian ruang rumah tua ini ternyata merangkum semua kehidupan sosial, ekonomi, spiritual, budaya dan keamanan, dari masing-masing keluarga di desa tersebut. Artinya, seluruh kegiatan keluarga dilakukan dalam satu rumah yang memang cukup luas. Jika di Padang, Sumatera Barat, rumah adatnya bernama Rumah Gadang, rumah di Sidatapa juga punya sebutan bagus. I Wayan Ariawan, seorang tokoh muda Sidatapa yang memiliki minat besar untuk melestarikan rumah peninggalan leluhurnya itu, mengatakan bangunan kuno di Sidatapa itu bernama Bale Gajah Tumpang Salu. Bale berarti rumah, gajah menunjukkan simbol dari bangunan yang bertiang empat dalam setiap bagiannya, tumpang berarti tingkat dan salu bermakna tiga. Lengkapnya bisa disebut sebagai rumah besar yang terdiri atas tiga bagian.
Tiga bagian rumah ini memiliki fungsi sosial, ekonomi, spiritual dan budaya yang menjadi satu-kesatuan yang utuh dan saling berhubungan. Bagian utama (utamaning mandala), bagian tengah (madyaning mandala) dan sisi luar (nistaning mandala). Bagian utama dijadikan tempat persembahyangan, tidur, makan, serta tempat menyimpan alat-alat upacara, busana adat, pusaka, emas dan kekayaan lainnya. Bagian tengah digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti memasak dan melakukan upacara adat dan upacara keagamaan. Nista mandala adalah daerah luar, lokasi khusus sebagai tempat menerima tamu. Jadi, sejumlah warga mengatakan, rumah tua itu bisa dianggap sebagai pura atau merajan sekaligus sebagai tempat tinggal.
Membelakangi Jalan
Kenapa rumah ini dibangun membelakangi jalan? Kisahnya bisa dimulai dari penyerangan pasukan Majapahit ke Bali beratus-ratus tahun lalu. Sejumlah tokoh warga menceritakan, setelah terjadi penyerangan dari pasukan Majapahit, warga Bali Aga itu mengalami semacam trauma. Ada semacam ketakutan sehingga berupaya menyembunyikan diri dan segala aktivitasnya dengan membuat rumah menghadap ke hilir atau ke belakang.
Selain di Sidatapa, rumah tua juga terdapat di Desa Pedawa yang juga termasuk deretan desa tua di Buleleng. Sayangnya, hingga kini, hanya beberapa saja bangunan bersejarah itu masih berdiri di Sidatapa. Rumah yang berumur ratusan tahun memang harus mengalami perbaikan baru. Kalau tidak, memang harus direlakan untuk rubuh.
Ariawan, tokoh muda yang kini sibuk mengurus yayasan untuk menaungi upaya pelestarian di Sidatapa itu, prihatin dengan bangunan tua yang mulai menipis jumlahnya. Untuk itu, belum lama ini, ia bersama tokoh adat dan masyarakat di daerahnya membuat semacam keputusan sebagai tanggung jawab moral untuk melestarikan rumah adat di Sidatapa. Menurutnya, pelestarian itu bukan semata-mata untuk memancing turis untuk datang ke Sidatapa, tetapi lebih banyak karena alasan sejarah desa yang harus dipertahankan sehingga tidak punah.
Menurut Ariawan, terdapat beberapa keputusan yang diambil masyarakat dalam upaya pelestarian itu. Pertama, masyarakat Sidatapa harus mempertahankan rumah tua yang dimilikinya. Kalaupun harus membangun rumah baru sebaiknya membangun rumah adat yang tradisional. Kedua, jika ada warga baru yang masuk Desa Pakraman Sidatapa maka warga itu diharuskan membangun rumah adat. Meski bahan-bahannya sudah menggunakan bahan modern, namun struktur bangunannya haruslah menggunakan struktur bangunan rumah adat. Ketiga, diimbau kepada masyarakat ingin mendirikan rumah dengan arsitektur modern agar membangunnya di luar wilayah desa.
Ariana mengakui, belakangan rumah tua di Sidatapa mengalami sedikit perubahan. Misalnya dulu atapnya dari alang-alang atau daun kelapa atau bilah-bilah bambu, kini atapnya diganti dengan seng. Lantai dan temboknya yang dulu terbuat dari tanah liat kini juga mulai diganti dengan semen. Tetapi, menurutnya, struktur, fungsi dan arsitekturnya tidak banyak berubah.
Perhatian pemerintah terhadap bangunan tua di Sidatapa dan daerah Desa Bali Aga lainnya, seperti di Pedawa, Tigawasa, Banyusri, Cempaga, ternyata cukup lumayan. Ariana mengatakan, untuk pelestarian rumah adat di Sidatapa, pemerintah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tercatat sudah dua kali memberi bantuan. Kini tinggal mengetuk kesadaran masyarakat untuk melakukan pelestarian terhadap peninggalan nenek moyangnya yang bernilai sejarah-budaya tinggi ini, kata Ariawan.
* Adnyana Ole
Diambil dari : (http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/7/19/bd1.htm)